Jakarta, CNBC Indonesia – Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) tiba-tiba mengeluhkan berbisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Khususnya di DKI Jakarta.
Keluhan berbisnis SPBU ini bukan karena melonjaknya harga minyak mentah imbas memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah, melainkan kebijakan pajak dan berbagai aturan pemerintah daerah (Pemda) yang dinilai semakin memberatkan bisnis SPBU di Jakarta.
Ketua Hiswana Migas DPC DKI Jakarta, Syarief Hidayat mengungkapkan bahwa nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan biaya lainnya yang semakin besar menggerus margin bisnis pom bensin.
“Misal untuk SPBU di wilayah DKI Jakarta, dimana nilai PBB-nya besar dan terkait biaya-biaya lainnya yang relatif lebih besar,” ujar Syarief kepada CNBC Indonesia saat dihubungi, Senin (22/4/2024).
Selain itu, dia mengatakan beban Upah Minimum Regional (UMR) yang juga meningkat setiap tahunnya, biaya pajak reklame, biaya penggunaan air tanah, dan berbagai aturan lainnya turut menjadi beban untuk menjalankan bisnis pom bensin di setiap wilayah dengan perhitungan yang berbeda.
Dia mengungkapkan dengan meningkatnya beban tersebut setiap tahunnya, maka omzet yang paling ideal agar bisnis bisa untung minimal penjualan bensin atau Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar 20-30 ribu liter per hari.
“Saat ini memang beban SPBU dirasakan semakin besar, selain nilai PBB yang naik setiap tahun, begitu juga dengan beban UMR yang juga naik setiap tahun, kemudian ada biaya pajak reklame, biaya penggunaan air tanah, biaya-biaya perizinan yang terkait dengan izin genset, aturan-aturan atau izin terkait LH, mengenai, adalagi aturan SLF (Sertifikat Laik Fungsi), PBG dan banyak izin-izin yang dirasakan cukup memberatkan,” jelasnya.
Syarief menjelaskan bahkan margin BBM subsidi yang disediakan oleh SPBU PT Pertamina (Persero) hingga saat ini diklaim tidak mengalami kenaikan sejak delapan tahun yang lalu.
Sebagaimana dicontohkan Syarif, 70% kehadiran SPBU merupakan pelayanan publik untuk menyediakan kebutuhan BBM bagi masyarakat. Sedangkan unsur bisnis murninya terhitung hanya sebesar 30%.
Dia mengungkapkan bila dibandingkan dengan bisnis mal yang terhitung 100%, bisnis SPBU dikenakan tarif perpajakan yang sama. Dengan begitu, bila terdapat kenaikan tarif pajak, bisnis SPBU merupakan bisnis yang banyak terdampak marginnya.
“Namun perhitungan tarif PBB, pajak reklame oleh Pemda kami dikenakan sama seperti usaha lain misalnya Mall, sedangkan bisnis usaha di Mall bisa dikatakan 100% murni bisnis. Apabila ada kenaikan tarif PBB atau Pajak reklame misalnya, mereka bisa menaikkan setiap saat,”
“Tidak demikian dengan bisnis BBM, dimana kenaikan harga harus ada persetujuan Pemerintah, sehingga demikian berpengaruh kepada margin yang diterima SPBU,” tandasnya.
Artikel Selanjutnya
Pertamina Bakal Getol Bangun SPBU Nelayan, Ini Lokasinya
(pgr/pgr)