Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah ekonom dan petinggi perbankan memperkirakan, Bank Indonesia akan terus mempertahankan suku bunga acuan BI Rate pada tahun ini, termasuk hasil rapat dewan gubernur yang akan diumumkan bulan ini.
Kepala Ekonom dan Riset United Overseas Bank (UOB) Indonesia Enrico Tanuwodjaja mengatakan, ini karena keharusan BI menjangkar ekspektasi stabilitas keuangan di tengah penguatan dolar Amerika Serikat.
Penguatan dolar AS hingga kini terjadi akibat tekanan inflasi di AS yang masih tinggi dan berpotensi membuat The Fed atau bank sentral AS masih menganut kebijakan moneter suku bunga tinggi untuk jangka waktu lama.
“Kita memang asumsi tahun ini tidak ada perubahan untuk suku bunga BI karena memang perlu dianchor dijangkar financial stability terutama exchange rate,” kata Enrico dalam program Central Banking CNBC Indonesia, Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Enrico mengatakan, tekanan eksternal itu, yang disebabkan suku bunga tinggi di AS atau dikenal dengan istilah higher for longer masih akan terjadi karena indikator super core inflation yang selalu dilihat The Fed masih tak kunjung turun. Disebabkan masih ketatnya pasar tenaga kerja di sektor jasa tenaga itu.
“Kenapa saya bawa kata-kata kembali higher, bukan lagi high karena orang sekarang sudah ngomongin ada kemungkinan meski secuil sedikit The Fed masih mungkin dia harus naikin loh, kalau inflasinya turn around,” ucap Enrico.
Oleh sebab itu, ia menekankan, bila nantinya super core inflation di AS bergerak naik sedikit saja, ada ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya. Sedangkan BI masih harus mempertahankan stabilitas nilai tukar dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Jadi bayangin The Fed mulai naikin suku bunga dari Maret 2022 berakhir di Juli 2023 sebanyak 525 basis points, nah itu kalau mereka belum merasa, belum cukup nih inflasinya belum turun, itu ada kemungkinan ruang gerak kecil, bukan cuma stay, dia akan melakukan yang unthinkable,” ucap Enriko.
Ia memperkirakan, The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya mulai September ini hingga akhir tahun nanti sebanyak dua kali penurunan sebesar 25 basis points. Saat The Fed mulai menurunkan suku bunga, ia meyakini BI akan mulai menurunkan BI Rate pada kuartal I tahun ini untuk menjaga daya tahan pertumbuhan di tengah lemahnya pertumbuhan ekonomi global.
“Jadi bayangin menurut saya untuk safeplay, ya kita harus jangkar di situ, paling tidak baseline kita BI Rate harusnya stay untuk this year, tahundepan pasti akan turun karena mungkin momentum ekonomi global dirasa akan lemah,” tegasnya.
Senada, Head of Treasury Bank Commonwealth Yuriadi Sulastomo memperkirakan, ketika The Fed mulai menurunkan suku bunga acuannya pada September nanti, tidak dalam waktu yang lama BI akan mengikuti, sebab berbagai indikator ekonomi domestik menurutnya mendukung kebijakan itu, mulai dari rendahnya tekanan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang belum tinggi.
“Volatilitas rupiah ini kan sebenarnya lebih disebabkan external factor, karena perang dan data CPI (Consumer Price Index) tiga data terakhir tinggi, kalau dilihat dari faktor-faktor domestik sebenarnya kita in very good position, consumer demand masih bagus, semua masih bagus, jadi karena dua itu,” tegasnya.
“Kalau dari demand US Dollar secara seasonal Maret sampai Juni ini kan zamannya dividen repatriasi ya dari perusahaan-perusahaan multinasional, jadi karena CPI, demand kebetulan tinggi, jadi saya rasa kalau ada wacana BI harus naikin suku bunga itu harus hati-hati banget,” ungkap Yuri.
Artikel Selanjutnya
Indonesia Kekeringan Uang, Ternyata Ini Biang Keroknya!
(arm/mij)