Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak sebulan terakhir ini publik dihebohkan dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi pada wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022.
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan petinggi TINS hingga crazy Rich PIK dan suami artis Sandra Dewi itu bahkan ditengarai merugikan negara dengan angka yang bombastis, yakni diperkirakan mencapai Rp 271 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyebut, perkiraan angka kerugian tersebut berdasarkan perhitungan dari hasil konsultasi penyidik dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ahli ekonomi, ekologi, dan lingkungan.
Ketut menjabarkan lebih jauh, kerugian sebesar Rp 271 triliun tersebut merupakan perhitungan kerugian ekosistem yang mengacu berbagai aspek. Sebab, para pelaku korupsi melakukan eksplorasi tambang timah secara ilegal. Angka tersebut juga memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan yang begitu masif dan luas.
“Kemudian (ada) dampak sosial dan ekologinya seperti apa, (kerugian) masyarakat di sekitarnya juga kita pertimbangkan, karena sudah tidak bisa lagi melakukan upaya-upaya pertanian nelayan, itu diperhitungkan,” ucapnya di kantornya, Kamis (3/4/2024).
Adapun dari pemeriksaan kasus ini, Kejaksaan Agung pun menyerahkan 5 fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) timah yang disita untuk dikelola oleh Kementerian BUMN.
Penyerahan pengelolaan aset itu dilakukan dalam Rapat Koordinasi Tata Kelola Benda Sitaan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang digelar di Kantor Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa, (23/4/2024).
“Rapat tersebut membahas mengenai dukungan terhadap perbaikan tata kelola timah dengan menitipkan barang bukti sitaan pada kepada Kementerian BUMN,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, lewat keterangan tertulis, Selasa (23/4/2024).
Kelima smelter timah tersebut antara lain dimiliki oleh PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Venus Inti Perkasa (VIP), PT Tinindo Internusa (Tinindo), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Perlu diketahui, dugaan kasus korupsi hingga tambang timah ilegal ternyata telah marak terjadi sejak belasan hingga puluhan tahun lalu, jauh sebelum kasus dugaan korupsi di wilayah pertambangan TINS ini terkuak.
Bahkan, aktivitas penambang liar atau Penambangan Tanpa Izin (PETI) timah di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, disebutkan telah berpotensi menghilangkan penerimaan negara hingga Rp 58 triliun.
Angka itu pun dengan asumsi terjadi pada 2008-2013, saat harga bijih timah masih US$ 15.000 per ton dan kurs Rp 11.000 per dolar Amerika Serikat. Berdasarkan data International ITRI, dikutip dari situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sepanjang 2008-2013 seharusnya RI tercatat memproduksi timah sebesar 593.304 ton.
Namun sayangnya, data produksi yang terlaporkan hanya 241.304 ton. Sementara selebihnya 352.000 hasil produksi dan penjualan timah RI tidak terlaporkan.
“Total kehilangan Indonesia dalam kurun tersebut mencapai sekitar Rp 58,080 triliun yang meliputi, Rp 20,675 triliun dari wilayah PT Timah di Provinsi Bangka Belitung dan Rp 37,405 triliun dari wilayah di luar PT Timah,” ungkap laporan ITRI, dikutip dari situs Kementerian ESDM, pada November 2015 lalu.
Bila data produksi yang tak terlaporkan itu masih terjadi, maka artinya potensi kehilangan pendapatan negara dari hasil tambang negara ini semakin besar. Perlu diketahui, harga timah saat ini berada pada level US$ 31.938 atau sekitar Rp 517,39 juta per ton dan kurs Rp 16.200 per US$. Harga ini menguat 19,86% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mengutip data Trading Economics, Kamis (25/4/2024).
Adapun produksi logam timah RI pada 2023, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, tercatat sebesar 67,6 ribu ton, lebih rendah dari target 2023 sebesar 70 ribu ton. Angka produksi ini terus menurun dibandingkan 2019 sebelum pandemi Covid-19 yang tercatat mencapai 76,4 ribu ton.
Sementara khusus untuk produksi PT Timah Tbk (TINS), produksi bijih timah pada 2023 mengalami penurunan 26% menjadi 14.855 ton dari 20.079 ton pada 2022.
Dari sisi produksi logam timah, pada 2023 produksi logam timah juga turun 23% menjadi 15.340 ton dari 19.825 ton pada 2022. Sementara dari sisi penjualan, penjualan logam timah pada 2023 turun 31% menjadi 14.385 ton dari 20.805 ton pada 2022 lalu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sebenarnya sudah menyadari adanya data ini. Oleh karena itu, pada November 2015 pun Presiden Jokowi sempat memerintahkan agar penambangan timah ilegal di Bangka Belitung segera diberantas, tata kelola timah diperbaiki, sehingga ekspor ilegal berkurang dan rakyat menjadi terlindungi.
Selain membuat tata kelola penambangan, pengolahan dan perdagangan timah yang baik, Presiden juga meminta Menteri BUMN mempelajari penugasan khusus PT Timah (Persero) Tbk untuk bermitra dengan pertambangan timah rakyat dan menyerap produksinya serta meningkatkan kemampuan PT Timah (Persero) Tbk untuk membentuk stok timah dalam rangka mengendalikan harga dan arahan yang terakhir, yaitu meminta kepada Gubernur dan Pemerintah Pusat untuk mempelajari kemungkinan memberikan izin usaha penambangan timah oleh rakyat yang telah ada, terutama di laut dan di lokasi usaha pertambangan yang telah berakhir.
Lantas, apakah penugasan khusus kepada PT Timah untuk bermitra dengan pertambangan timah rakyat ini akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri, hingga akhirnya terkuak dugaan kasus korupsi ini? Ini yang perlu kita cermati bersama.
Artikel Selanjutnya
Daerah di Sumatera Ini Disebut Bak Kota Mati, Kenapa?
(wia)