Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih 2024-2029.
Hal tersebut dilakukan usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sebelum penetapan tersebut, banyak lembaga ekonomi asing yang secara aktif memberikan pandangan mereka mengenai kondisi ekonomi Indonesia jika Prabowo Subianto menjadi presiden. Salah satunya adalah perusahaan pemeringkat kredit dari Amerika, Fitch Rating.
“Kebijakan ekonomi Indonesia kemungkinan besar tidak akan berubah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto,” kata Fitch dalam rilis ‘Indonesia Election Outcome Points to Broad Economic Policy Continuity’ yang dimuat melalui websitenya beberapa saat lalu.
“Namun ketidakpastian seputar kebijakan fiskal jangka menengah telah meningkat,” tambahnya.
Meski demikian, Fitch menyebut terlalu dini melihat bagaimana perekonomian ke depan saat ini. Ia mengatakan kejelasan arah ekonomi Indonesia terkait kebijakan fiskal pemerintahan berikutnya akan didapat setelah Prabowo mulai menjabat pada Oktober 2024.
“Kami mengantisipasi bahwa Prabowo akan tetap fokus pada pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan ibu kota baru, dan mempertahankan upaya pemerintah saat ini untuk mendukung hilirisasi komoditas dan memperluas manufaktur baterai dan kendaraan listrik,” papar lembaga dunia itu lagi.
Fitch sendiri telah memperkirakan pertumbuhan PDB riil Indonesia akan tetap atau sedikit di atas 5% pada tahun ini dan tahun depan, yang akan sejalan dengan kondisi sebelum pandemi. Di sisi lain, Fitch memperkirakan kebijakan moneter dan fiskal akan tetap mendukung stabilitas makroekonomi RI, setidaknya selama sisa tahun ini.
“Namun demikian, kami yakin risiko fiskal jangka menengah telah meningkat, mengingat beberapa janji kampanye Prabowo, termasuk program makan siang dan susu gratis di sekolah yang dapat menghabiskan biaya sekitar 2% PDB setiap tahunnya,” jelasnya.
“Pernyataan Prabowo bahwa Indonesia dapat mempertahankan rasio utang pemerintah/PDB yang jauh lebih tinggi juga menunjukkan adanya risiko terhadap proyeksi fiskal dasar kami. Namun, ia juga menyerukan agar Indonesia meningkatkan tingkat pendapatan pemerintah terhadap PDB secara signifikan,” tambahnya lagi.
Laporan mingguan Pratinjau Ekonomi Asia Pasifik Moody’s Analytics, yang dirilis untuk 19-23 Februari 2024, juga menyoroti kemenangan Prabowo.
“Kami memperkirakan Partai Gerinda yang mengusung Prabowo akan menjadi bagian dari pemerintahan koalisi,” kata dia.
Sementara dari sisi ekonomi negara, Moody’s Analytics menyebutkan prediksi yang sama dengan Fitch Rating. Kebijakan populer Jokowi akan diteruskan.
“Dari segi kebijakan ekonomi, mantan jenderal yang telah menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya ini mengindikasikan bahwa ia akan tetap berpegang pada kebijakan presiden populer yang akan segera habis masa jabatannya, Joko Widodo,” kata laporan itu.
Sebut Sri Mulyani
Sebelumnya, media asal Singapura, Channel News Asia (CNA), memuat analisis berjudul ‘Commentary: With Prabowo poised to be next Indonesia president, his challenge is to ensure Cabinet continuity’. Laman tersebut mengutip opini pakar Andree Surianta, penerima gelar PhD Australia Awards di Crawford School of Public Policy, Australian National University, yang pertama kali dimuat Lowy Institute, The Interpreter.
Analisis tersebut juga menyinggung ekonomi RI. Diungkap janji Prabowo untuk melanjutkan gaya koalisi besar dan program infrastruktur besar yang diusung Jokowi, termasuk peningkatan belanja pertahanan dan bantuan sosial.
Disebut potensi bagaimana utang mungkin bisa bertambah. Disinggung juga bagaimana bila Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani, yang mungkin tak lagi menjabat padahal menjadi salah satu andalan pemerintah Jokowi.
“Koalisi besar biasanya berarti menawarkan jabatan menteri sebagai imbalan atas kesetiaan partai. Namun, strategi pendapatannya masih belum jelas, sehingga pendanaan program-program ini kemungkinan besar memerlukan lebih banyak utang pemerintah,” bunyi analisisnya.
“Potensi pelonggaran disiplin utang publik memicu kekhawatiran investor, mengingat Indonesia telah dipuji atas pengelolaan fiskal yang bijaksana di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan saat ini Sri Mulyani Indrawati,” tambahnya.
“Prabowo harus memilih menteri pengganti dengan sangat hati-hati untuk meredakan kekhawatiran investor internasional dan menyampaikan pesan kesinambungan,” ujarnya lagi.
Artikel Selanjutnya
Gibran Mau Bikin Badan Penerimaan Negara, Ini Alasannya
(fab/fab)