Jakarta, CNBC Indonesia – Anggaran dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat ke pemerintah desa memiliki ekses negatif yang perlu diwaspadai masyarakat desa. Salah satunya ialah besarnya potensi korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum perangkat desa.

Bila dana desa dikorupsi atau disalahgunakan, dampaknya pun tak main-main, bisa menyebabkan dana desa dihentikan penyalurannya oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan. Dana insentif desa pun berpotensi tak akan kembali disalurkan karena desa yang terkena kasus korupsi akan masuk daftar hitam atau blacklist.

“Ekses ini jatuhnya menjadi keprihatinan kita semua. Ada yang dana desa dipakai untuk karoke, dipakai macam-macam lah,” ucap Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Jaka Sucipta dalam acara diskusi di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis (2/5/2024).

Mengutip artikel di laman Pusat Edukasi Antikoripsi KPK berjudul “Kenali Berbagai Modus Korupsi di Sektor Desa”, desa telah menjadi sektor dengan kasus korupsi terbanyak sepanjang 2022. Artikel itu mengutip data Indonesia Corruption Watch atau ICW.

Sepanjang tahun itu, dalam artikel tersebut disebutkan ICW mencatat terjadi 155 kasus korupsi di desa, dengan kerugian negaranya mencapai lebih dari Rp381 miliar. Praktik suap-menyuap dan pungli saja mencapai Rp2,7 miliar. Desa mengalahkan sektor pendidikan, utilitas, pemerintahan, dan sumber daya alam.

Artikel itu juga mengungkapkan bahwa ICW telah mencatat sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat. Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.

Jaka Sucipta mengatakan, data-data itu memang menjadi salah satu gambaran adanya ekses negatif dari dana desa. Maka, Kementerian Keuangan telah menetapkan sejumlah strategi mitigasi supaya kasus penyalahgunaan tak terus menerus terjadi atau bahkan semakin memburuk.

“Di kami tiap ada penyalahgunaan dana desa, itu kami hentikan. Jadi kalau kemudian kadesnya atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan dana desanya sampai kemudian ditunjuk plt (pelaksana tugas) atau pejabat penggantinya, baru kita salurkan. karena lingkup kami dipenyaluran,” kata Jaka.

“Kemudian kedua, ketika sebuah desa terkena kasus korupsi, maka tidak boleh ikut dalam kompetisi untuk mendapatkan insentif desa. Jadi salah satu kriteria insentif desa itu tidak ada kasus korupsi di desanya, jadi di blacklist lah,” tegasnya.

Pusat Edukasi Antikoripsi KPK pun telah mengungkapkan, terdapat lima titik celah yang biasa dimanfaatkan aparat desa untuk mengorupsi dana desa, yaitu proses perencanaan, proses perencanaan pelaksanaan (nepotisme dan tidak transparan), proses pengadaan barang dan jasa dalam konteks penyaluran dan pengelolaan dana desa (mark up, fiktif, dan tidak transparan), proses pertanggungjawaban (fiktif), dan proses monitoring dan evaluasi (formalitas, administratif, dan telat deteksi korupsi).

Kementerian Keuangan sendiri telah menyalurkan dana desa sebesar Rp 609,98 triliun untuk periode 2015-2024. Pada 2014 sebesar Rp 20,7 triliun, 2016 menjadi Rp 46,98 triliun, 2017 melonjak menjadi Rp 60 triliun, 2018 tetap Rp 60 triliun, 2019 naik lagi menjadi Rp 70 triliun, 2020 Rp 71 triliun, 2021 Rp 72 triliun, 2022 turun menjadi Rp 68 triliun, 2023 kembali Rp 70 triliun, dan 2024 menjadi Rp 71 triliun.

Adapun jumlah desa yang menerima dana itu pada 2015 hanya 74.093, 2016 menjadi 74.754, lalu 2017 menjadi sebanyak 74.954, 2018 bertambah sedikit menjadi 74.958, 2019 turun menjadi 74.953, 2020 hanya 74.954, 2021 kembali naik menjadi 74.961, 2022 turun sedikit menjadi 74.960, 2023 kembali turun menjadi 74.954, dan 2024 tersisa 75.259.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Momen Anies Hampiri Prabowo untuk Jabat Tangan Usai Dialog KPK


(haa/haa)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *