Bogor, CNBC Indonesia – Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan akan mewajibkan rumah potong hewan unggas (RPHU) memiliki sertifikat halal untuk penjualan ayam potong. Hal ini juga merembet pada pedagang ayam potong. Kebijakan ini mulai berlaku pada Oktober 2024.

Pedagang ayam potong pun memberikan saran kepada pemerintah. Pada umumnya mereka tidak keberatan dengan kebijakan ini asalkan pemerintah gratis dan tidak merepotkan mereka.

Sofyan, salah seorang pedagang ayam potong di Pasar Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat mengaku tidak keberatan dengan adanya kebijakan itu, karena dapat melindungi konsumennya. Sehingga konsumen merasa aman, dan tidak takut lagi daging ayam yang dibelinya termasuk ayam tiren atau bahkan tidak halal.

“Nggak apa-apa sih adanya kebijakan itu, buat perlindungan konsumen saja. Asalkan gratis, dan ada tujuan juga buat nunjukin ke pembeli kalau yang dijual aman dan halal. Kalau ngurus sertifikatnya bayar mah merepotkan lah,” kata Sofyan saat ditemui CNBC Indonesia di lokasi, Selasa (7/5/2024).

Sofyan menyebut ayam-ayam potong yang dijualnya, dapat dijamin kehalalan dan kehigenisannya, sehingga aman untuk dikonsumsi. Sebab, dia katanya mengurus sendiri proses pemotongan unggas tersebut.

“Kita potong sendiri di sini sih ayamnya, pake baca-bacaan (doa) sendiri ya, nggak di pabrikan gitu, dipotong langsung sama kita di sini. Dijamin aman, InsyaAllah, karena ketahuan hidupnya ya. Saya kan belinya langsung bawa hidup ke sini, nggak lewat rumah potong lagi, terus dipotong sendiri di sini,” jelasnya.

“Intinya, saya mah nggak keberatan kalau memang diwajibkan begitu, asalkan gratis dan waktunya nggak ganggu kita jualan,” imbuh Sofyan.

Pedagang ayam potong lainnya Maesaroh dan Andri justru merasa keberatan bilamana nantinya para pedagang di pasar juga diwajibkan mengurus sertifikat halal. Pasalnya, mereka tidak memotong ayam tersebut sendiri, melainkan melalui Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU). Sehingga menurut mereka, yang bertanggungjawab mengurus sertifikat halal itu adalah RPHU terkait, bukan para pedagang.




Pedagang ayam di Pasar Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)Foto: Pedagang ayam di Pasar Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Pedagang ayam di Pasar Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

“Kita keberatan lah (kalau disuruh ngurus juga), itu kan urusannya pemotongan, bukan urusan kita lah. Bukan kita yang memproses,” ucap Maesaroh dan Andri bersahutan.

Maesaroh menjelaskan alasan keberatannya, karena dia hanya penjual yang membeli pasokan daging ayam dari RPHU.

“Kan kita ngambil dari pemotongannya langsung. Itu urusan supplier, bukan urusan kita. Keberatan lah, kan kita cuma naro aja di sini, dijual, kalau begituan urusan mereka,” ucap Maesaroh.

Meski demikian, Maesaroh dan Andri mengaku setuju dan akan mendukung pemerintah menegakkan kebijakan wajib halal tersebut.

“Ya nggak apa-apa ada kebijakan wajib halal, bagus lah, itu bagus. Jadi resmi, kita legal lah gitu. Kita ngedukung banget, cuma kalau kita yang ngurusin ya keberatan, nggak mau lah. Itu kita keluar dana dong, pasti lah ngurusinnya. Tenaga, dana, waktu pasti terbuang. Tapi bagaimanapun kita nggak masalah, setuju saja kalau harus ada sertifikat halal, tapi itu mah tanggung jawab dia, asal bukan kita yang ngurus. Kita terima beres saja, nanti kita tempel di sini (dinding kiosnya),” kata dia.

Maesaroh mengatakan, sebetulnya kebijakan wajib bersertifikat halal untuk ayam potong itu persis seperti yang mereka harapkan selama ini, karena hal itu bisa menumbuhkan kepercayaan konsumen. Katanya, pembeli nantinya tidak perlu khawatir lagi daging ayam yang dibelinya tidak halal atau bahkan ayam tiren.

“Memang kita pengennya begitu sih, supaya pembeli lebih tenang, percaya. Yang beli kan macam-macam, ada yang bilang tiren lah itu lah. Tapi amit-amit ya, mudah-mudahan ini mah semuanya insyaallah aman semua, halal, higenis,” tukasnya.

Sementara itu, Rhena salah seorang pedagang ayam potong di Pasar Klender, Jakarta Timur menyebut wajibnya sertifikasi halal untuk ayam potong berpeluang menjadi ladang korupsi baru. Menurutnya, akan ada banyak orang yang malas mengikuti prosedur pembuatan sertifikat sebagaimana mestinya, dan berakhir menggunakan jasa oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk mempercepat penerbitan sertifikat halal tersebut.

“Kalau diwajibkan sertifikasi halal, sepertinya membuka ladang korupsi juga. Soalnya yang nggak mau repot pasti pake sistem instan, ke oknum-oknum gitu. Sudah pasti itu,” kata Rhena.

Rhena mengatakan, potensi tindakan koruptif itu bisa saja terjadi karena penerbitan sertifikat tanpa mengikuti prosedur yang berlaku. Katanya, masih banyak masyarakat Indonesia yang maunya instan saja, tidak mau repot. Sedangkan, untuk mengurus sertifikasi halal itu memerlukan waktu hingga lebih dari 2 bulan lamanya.

“Korupsi itu bisa terjadi karena sertifikat (halal) terbit tanpa ikuti prosedur. Nanti pasti akan seperti itu kalau memang semua diwajibkan bersertifikat halal,” ucapnya.

Selain berjualan ayam potong di pasar, Rhena mengaku juga memiliki usaha mikro kecil menengah (UMKM), yakni menjual makanan seperti nasi kotak. Katanya, untuk mengurus sertifikat halal UMKM-nya membutuhkan waktu lebih dari 2 bulan.

“Pembuatan dan/atau pengajuan sertifikat halal gratis, nggak ada biaya. Tapi prosesnya sangat lama, 2 bulanan saya mengurus sertifikat halal untuk usaha nasi kotak. Pengajuannya sih nggak repot ya, cuma bawa produk kita untuk di foto bareng tim di sana, sama dilihat benar nggak bahan-bahan dasar pembuatannya halal nggak gitu,” jelasnya.

Pedagang ayam potong lainnya, Sofyan, mengaku dirinya tidak keberatan apabila nantinya ayam potong diwajibkan bersertifikat halal, asalkan dalam proses pembuatan sertifikatnya tidak merepotkan pedagang dan tidak dipungut biaya sepeserpun.

Menurutnya, kewajiban sertifikasi halal untuk ayam potong merupakan kebijakan yang bagus dari pemerintah, karena hal itu dapat melindungi konsumennya. Sehingga konsumen merasa aman, dan tidak takut lagi daging ayam yang dibelinya termasuk ayam tiren atau bahkan tidak halal.

“Nggak apa-apa sih adanya kebijakan itu, buat perlindungan konsumen saja. Asalkan gratis, dan ada tujuan juga buat nunjukin ke pembeli kalau yang dijual aman dan halal. Kalau ngurus sertifikatnya bayar mah merepotkan lah,” kata Sofyan.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Usai Sidak, Mendag Zulhas Happy Pasar Tanah Abang Tak Lagi Sepi


(wur)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *